JAKARTA, KOMPAS — Indonesia kembali masuk Priority Watch Listatau daftar negara yang dinilai Amerika Serikat memiliki pelanggaran hak kekayaan intelektual atau HKI cukup berat. Penegakan hukum atas pelanggaran HKI di Indonesia masih lemah dan tidak tegas.
Untuk konteks Indonesia, dalam 2021 Special 301 Report yang disusun United States Trade Representative(USTR) disebutkan beberapa hal. Salah satunya mengenai masih meluasnya pembajakan dan pemalsuan yang diduga karena kurangnya penegakan hukum terhadap produk palsu.
Hal krusial lainnya yang disebut di dalam laporan menyangkut prosedur dan implementasi kebijakan Indonesia di Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten. Ada juga menyangkut sorotan Amerika Serikat terhadap konsistensi Indonesia menerapkan kebijakan investasi 100 persen asing untuk hulu-hilir industri film.
Direktur Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Anom Wibowo dalam siaran pers, Jumat (10/9/2021), di Jakarta, menyebut bahwa Indonesia sudah masuk di dalam daftar Priority Watch List(PWL) selama 33 tahun. Pihaknya telah bertemu dengan USTR untuk mendiskusikan langkah-langkah Indonesia untuk keluar dari daftar PWL.
”Kami sudah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Operasi Penanggulangan Status PWL Indonesia di bidang hak kekayaan intelektual. Sebelumnya, satgas bersangkutan berisi perwakilan 17 kementerian/lembaga, kini hanya lima. Harapannya, satgas bisa bekerja lebih efisien dan efektif selama pemberantasan pelanggaran hak kekayaan intelektual,” ujar Anom.
Indonesia sudah masuk di dalam daftar Priority Watch List(PWL) selama 33 tahun.
Sung Eun Chang, Director for Innovation and Intellectual Property di USTR, memberikan apresiasi atas terbentuknya tim nasional penanggulangan pelanggaran HKI ini. Dia berharap tim ini dapat menunjukkan hasil konkret dalam mengurangi peredaran barang palsu di Indonesia.
”Kami sangat menunggu-nunggu hasil penegakan hukum terhadap pelanggaran HKI di Indonesia. Lakukan langkah yang konkret. Kami sangat mendorong Indonesia untuk melakukan sidak (inspeksi mendadak) di lapangan tanpa pemberitahuan sehingga penjual barang palsu berhenti melakukan pelanggaran,” kata Sung Eun.
Delik aduan
Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemkumham Irma Mariana saat dikonfirmasi menyampaikan, selama setahun terakhir, terdapat 30 jenis aduan pembajakan. Delapan di antaranya sudah ditindaklanjuti dan sisanya masih proses penyidikan.
Dalam konteks pembajakan, sesuai UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dia menjelaskan bahwa penegakan hukum baru bisa dilakukan apabila ada aduan. Oleh sebab itu, sosialisasi HKI, baik melalui saluran luring maupun daring, juga disertai penyadaran pentingnya melapor apabila mengalami pelanggaran hak kekayaan intelektual, khususnya menyangkut hak cipta.
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman saat dihubungi terpisah menceritakan, kalangan penerbit buku mencemaskan pembajakan yang semakin menjadi ”industri”. Pada 2019, Ikapi menerima laporan tentang pelanggaran hak cipta dari 11 penerbit anggota Ikapi. Mereka mengeluhkan kerugian akibat pelanggaran hak cipta buku, seperti pembajakan, telah mencapai Rp 116,05 miliar.
Pada 2019, Ikapi menerima laporan tentang pelanggaran hak cipta dari 11 penerbit anggota Ikapi. Mereka mengeluhkan kerugian akibat pelanggaran hak cipta buku, seperti pembajakan, telah mencapai Rp 116,05 miliar.
Angka kerugian sesungguhnya di industri buku diperkirakan lebih besar sebab jumlah perusahaan penerbit anggota Ikapi pada 2019 sekitar 1.600 penerbit dan bertambah menjadi 1.900 pada April 2021. Itu pun belum termasuk penerbit anggota organisasi lain, seperti Afiliasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia.
”Di era digital seperti sekarang, penerbit buku mau tidak mau terjun ke pemasaran digital melalui lokapasar. Buku yang dijual di sana berupa buku fisik maupun digital. Namun, penerbit resmi harus berhadapan dengan pelaku pembajakan yang terus bermunculan dan berani menawarkan jasanya lintas batas negara,” ucap Arys.
Sementara itu, menurut Managing Partner Sheyoputra Law Office, Donny A Sheyoputra, setiap tahun Amerika Serikat memberikan penilaian implementasi hak kekayaan intelektual kepada negara-negara mitra dagangnya. Hasil penilaian mengerucut ke penilaian PWL dan Watch List (WL). Pemberian dua status itu, salah satunya, berkaitan dengan pemberian fasilitas Generalized System of Preference (GSP).
Fasilitas GSP Amerika Serikat memberikan perlakuan tarif bebas bea yang tidak timbal balik untuk produk tertentu yang diimpor ke Amerika Serikat dari negara berkembang penerima yang ditunjuk. Bagi negara yang dinilai banyak pelanggaran hak kekayaan intelektual, fasilitas GSP bisa dikurangi oleh Amerika Serikat.
”Penilaian PWL ataupun WL juga berpengaruh terhadap arus investasi. Besar kecilnya investasi akan berdampak ke pembukaan lapangan kerja,” kata Donny.