Rumitnya penyelesaian kasus dugaan pelanggaran hak cipta nampaknya masih terus terjadi. Terbaru, kasus semacam ini menyeret nama penyanyi Vidi Aldiano. Vidi Aldiano digugat oleh musisi senior dan pembuat lagu, Keenan Nasution dan Rudi Pekerti. Keduanya mengajukan gugatan sebesar Rp24,5 miliar kepada Vidi Aldiano, melalui pengadilan Niaga Jakarta Pusat terkait lagu Nuansa Bening.
Kuasa hukum Keenan dan Rudi, Minola Sebayang, mengatakan angka Rp24,5 miliar itu berasal dari gugatan terhadap hak cipta terhadap 31 dari 309 pertunjukan musik Vidi Aldiano. Rincian gugatannya yaitu Rp10 miliar untuk 2 pelanggaran pada 2009 dan 2013, lalu Rp14,5 miliar untuk 29 dugaan pelanggaran antara 2016 hingga 2024.
Anak Keenan Nasution, Daryl Nasution, melalui media sosialnya menjelaskan kronologi kasus tersebut. Pada Juli 2024 lagu Nuansa Bening digunakan untuk marketing sebuah perusahaan. Kemudian, Keenan mencoba menghubungi Vidi Aldiano melalui agensi. Keenan juga sempat menolak uang Rp50 juta pemberian dari manajemen Vidi Aldiano.
Lagu Nuansa Bening dapat ditemukan di aplikasi pemutar musik daring seperti Spotify, YouTube music, dan Apple Music. Menurut Daryl, pihak pencipta lagu tidak terlibat kerja sama apapun untuk publikasi di aplikasi tersebut. Sehingga, pihak yang mempublikasikan lagu tersebut mendapat royalti.
Metadata lagu tersebut menampilkan VA record sebagai penulis lagu. Padahal, menurut Daryl, mereka tidak memiliki hak cipta untuk lagu tersebut. “Yang kedua, pada bagian pencipta lagi, VA Records justru mencantumkan namanya sebagai songwriter. Jadi tertulis Nuansa Bening ditulis oleh ayah saya dan VA Records,” tulis Daryl dalam akun Instagramnya.
Kesepakatan awal penggunaan lagu Nuansa Bening hanya untuk CD. Namun, Vidi Aldiano dituding membawakan lagu ini ke pertunjukan komersil tanpa izin.
Perlindungan terhadap hak cipta di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014. Regulasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa para pencipta karya memperoleh perlindungan hukum dan insentif ekonomi atas hasil ciptaannya. Melalui undang-undang ini, negara memberikan jaminan bahwa setiap penggunaan karya tanpa izin dari pencipta merupakan bentuk pelanggaran hukum.
Konsultan sekaligus pengacara bidang kekayaan intelektual, Donny A Sheyoputra, menyebut saat ini peraturan yang berlaku sedang masuk ke tahap revisi, namun pembahasannya belum dimulai.
Gugatan hak cipta terkait lagu bukanlah pertama terjadi sebelum kasus Vidi Aldiano. Sebelumnya, penyanyi dangdut Lesti Kejora sempat dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Lesti diduga melanggar pasal 113 jo. Pasal 9 UU Nomor 28 tahun 2014 tentang hak cipta dengan kurungan paling lama 4 tahun dan atau dengan pidana denda paling banyak Rp1 miliar.
Sebelumnya, ada juga Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menetapkan bahwa penyanyi Agnez Mo harus membayar ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar kepada pencipta lagu, Ari Bias pada Februari 2025. Agnez Mo terbukti melanggar ketentuan pasal 9 ayat (2) dan (3) undang-undang nomor 28 tahun 2014 tentang hak cipta.
Donny menjelaskan, bahwa kasus Agnes Mo melawan Ari Bias berakhir dengan putusan kasasi di Mahkamah Agung yang menguatkan putusan pengadilan niaga Jakarta Pusat. Hal ini telah menjadi preseden hukum dalam perkara hak cipta lagu. Kondisi yang sama dikhawatirkan terjadi pada musisi lain, termasuk Vidi Aldiano.
Semenjak pemberlakuan UU Hak Cipta tahun 2014, semakin banyak perkara sengketa hak cipta. Donny menyebut hal ini seringkali terjadi tanpa mengindahkan ketentuan dalam UU Hak cipta yang mengatur pembayaran royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
“Sebaliknya, banyak perkara pelanggaran hak cipta justru tidak efektif dibasmi,” ucapnya kepada Tirto. Keadaan ini, menurut dia, karena menyasar pembajakan konvensional menggunakan media seperti CD atau VCD.
Kasus-kasus sengketa semacam ini umumnya selesai dengan dua cara yakni di luar pengadilan dan putusan pengadilan. Dalam pola penyelesaian luar pengadilan berarti kedua pihak berdamai dengan membayar royalti atau ganti rugi dengan cara tertentu.
“Cara kedua adalah jika kasusnya bergulir di pengadilan pidana dan perdata. Dalam hal ini biasanya suatu kasus ditentukan oleh putusan hakim,” imbuh Donny.
Donny menilai, langkah penyelesaian sengketa royalti idealnya melalui pemberdayaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). “Sebagai instansi yang ditunjuk oleh UU Hak Cipta yang berarti kinerjanya perlu ditingkatkan lagi,” katanya.
LMKN perlu disosialisasikan kepada publik dengan lebih baik. LMKN harus segera menyusun daftar katalog lagu dan penciptanya. Hal ini diakui juga oleh Donny bukan perkara mudah karena jumlah lagu sangatlah banyak.
Apabila seorang penyanyi ingin menyanyikan lagu ciptaan orang lain pembayaran dapat dilakukan melalui LMKN. Namun, tidak bisa juga menutup kemungkinan asas kebebasan berkontrak jika ingin melakukan pembayaran secara terpisah dengan tarif khusus ke pencipta lagu.
Pengamat dunia musik dan founder Wara Musika, Dzukfikri Putra Malawi, menekankan pentingnya penyelesaian melalui proses non litigasi. Konflik royalti semacam ini seharusnya dapat diselesaikan dengan duduk bersama antara musisi, LMK, dan penegak hukum.
“Kasus Vidi Aldiano menambah daftar panjang dari rasa frustasi pencipta lagu yang muncul saat karya mereka menjadi komoditas. Banyak yang dulunya hanya berpikir untuk kesenangan, kini hal tersebut jadi dasar gugatan,” ucap Dzukfikri.
Tindakan hukum kepada seorang penyanyi, kata Dzukfikri, dapat menyebabkan krisis kepercayaan karena sistem royalti. Dia mengibaratkan perahu tenggelam karena setiap orang melubangi perahu demi menangkap ikan sendiri-sendiri.
Dzukfikri menilai sangat memungkinkan proses rekonsiliasi antara musisi dan pencipta lagu. DPR seharusnya dapat memfasilitasi pertemuan semacam ini. “Tapi mungkin satu sisi, memang butuh riuh dulu supaya prosesnya bisa lebih mendapatkan atensi pemangku kebijakan,” ucap dia.
Dalam UU Hak Cipta, pembayaran royalti atau performing rights kepada pencipta/pemegang hak cipta diwadahi lewat Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Royalti menjadi hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengontrol penggunaan karya dalam pertunjukan publik.
Pasal 9 UU Hak Cipta menyatakan pencipta/pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi. Hak itu diklasifikasikan dalam sembilan jenis, di antaranya termasuk pertunjukan ciptaan dan penggandaan ciptaan. Ayat 2 Pasal 9 menyatakan, setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta.
Namun, hak ekonomi tersebut harus dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Di tingkat nasional, juga dibentuk LMKN yang menghimpun royalti pencipta/pemegang hak cipta dari pengguna. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 87 UU Hak Cipta.
Sering kali LMKN belum memuaskan pihak pencipta/pemegang hak cipta karena tak dilengkapi laporan pengelolaan royalti yang transparan. Ujung-ujungnya, justru terjadi konflik horizontal antara pencipta dan penyanyi/performer karena ketidakpuasan atas penegakan hak royalti atau performing rights.
Tirto sudah menghubungi ketua LMKN, Dharma Oratmangun, terkait persoalan royalti ini. Namun, ia belum memberikan respons hingga berita ini ditayangkan.
Kasus Vidi Aldiano vs Keenan-Rudi menambah daftar panjang konflik royalti di industri musik Indonesia. Di tengah perkembangan digital dan distribusi daring, sistem pelindung hak cipta masih tertinggal. Padahal, menurut UU Hak Cipta, setiap pertunjukan publik, penggandaan, dan pendistribusian karya wajib disertai izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Tanpa itu, kegiatan tersebut bisa digugat baik secara perdata maupun pidana.
Kini bola ada di tangan pengadilan. Apakah mereka akan memperkuat posisi pencipta, atau memperingatkan pentingnya penyelesaian damai dalam dunia musik Indonesia? Yang jelas, pertanyaan tentang siapa yang paling berhak atas lagu legendaris seperti Nuansa Bening bukan hanya soal hukum, tapi juga penghargaan terhadap sejarah dan kreasi seni. Perlu ada penyelesaian bijak agar nuansa bening tak menjadi keruh.
Source: https://tirto.id/vidi-aldiano-dan-masalah-hak-cipta-bak-nuansa-bening-yang-keruh-hcHz