Ahli Psikologi Forensik Bilang Kondisi Terdakwa Agus Bisa Menjadi Pemberat Hukuman

11 March 2025

Jaksa Penuntut Umum (JPU) kembali menghadirkan saksi ahli pada sidang lanjutan perkara pelecehan seksual fisik I Wayan Agus Suartana (IWAS) alias Agus Buntung, Senin (10/3). Saksi ahli yang dihadirkan adalah pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel. ”Saya di sini sebagai ahli. Bukan untuk kepetingan jaksa, tetapi saya menjawab dari sudut pandang psikologi forensik,” kata Reza.

Dia menjelaskan, IWAS yang menjadi terdakwa dalam perkara tersebut dalam kondisi cacat. Di masyarakat tengah booming, bagaimana caranya melakukan tindakan kejahatan dengan kondisi tubuh seperti itu. ”Justru, jika dalam kondisi kecacatan melakukan kejahatan harusnya bisa diperberat. Bukan diberikan keringanan,” ujarnya.

Menurutnya, tidak bisa serta merta pelaku kejahatan yang dalam kondisi cacat berarti harus dihukum ringan. Sebab, dia melakukan dengan cacatnya itu sebagai instrumennya. ”Sepatutnya bagian tubuh yang sempurna itu menjadi hal yang memberatkan,” bebernya.

Karena itu, dia meminta jangan terburu-buru menganggap orang yang dalam kondisi cacat tidak bisa melakukan tindak kejahatan. Menurutnya, perilaku manusia itu muncul dari proses belajar. “Siapapun itu,” ujarnya.

Proses belajar itu tidak ditentukan semata-mata dari Intelligence Quotient (IQ), melainkan tergantung pada kecakapan berpikir.

Kecakapan itu, sambungnya, tergantung dari seberapa jauh orang berlatih. “Berapa kondusif dia didukung oleh pihak lain, siapa gurunya dan lain sebagainya,” katanya.

Bagi dia, IQ memang hal yang penting bagi keberhasilan belajar. Tetapi, IQ bukan merupakan satu-satunya kunci keberhasilan seseorang untuk belajar. ”Termasuk melakukan tindak pidana,” ungkapnya.

Penasihat Hukum Agus Buntung, Donny A Sheyoputra mengatakan, di persidangan terjadi saling bantah atas keterangan ahli psikologi forensik dengan jaksa penuntut umum (JPU). Beberapa kali JPU mengaitkan pertanyaan dengan kasus IWAS. ”Sebenarnya itu tidak boleh. Ahli memberikan kesaksian atas dasar keilmuannya,” kata Donny.

Karena itu, dia meminta jangan terburu-buru menganggap orang yang dalam kondisi cacat tidak bisa melakukan tindak kejahatan. Menurutnya, perilaku manusia itu muncul dari proses belajar. “Siapapun itu,” ujarnya.

Proses belajar itu tidak ditentukan semata-mata dari Intelligence Quotient (IQ), melainkan tergantung pada kecakapan berpikir.

Kecakapan itu, sambungnya, tergantung dari seberapa jauh orang berlatih. “Berapa kondusif dia didukung oleh pihak lain, siapa gurunya dan lain sebagainya,” katanya.

Bagi dia, IQ memang hal yang penting bagi keberhasilan belajar. Tetapi, IQ bukan merupakan satu-satunya kunci keberhasilan seseorang untuk belajar. ”Termasuk melakukan tindak pidana,” ungkapnya.

Penasihat Hukum Agus Buntung, Donny A Sheyoputra mengatakan, di persidangan terjadi saling bantah atas keterangan ahli psikologi forensik dengan jaksa penuntut umum (JPU). Beberapa kali JPU mengaitkan pertanyaan dengan kasus IWAS. ”Sebenarnya itu tidak boleh. Ahli memberikan kesaksian atas dasar keilmuannya,” kata Donny.

Misalnya, mengenai grooming behavior. Dalam keadaan tertentu tidak ada parameter mengenai grooming tersebut. ”Secara manusiawi, grooming itu terjadi dengan sendirinya. Misalnya, saya merayu pacar saya supaya mau dengan saya. Itu tidak ada tindak pidana,” ujarnya.

Jika mengarah ke persoalan tindak pidana, tambah dia, perlu dibuktikan lebih detail. Tidak bisa serta merta langsung mengarahkan tindakan grooming itu adalah tindak pidana. ”Itu butuh waktu,” kata dia.

Source: https://static.promediateknologi.id/crop/0x0:0x0/0x0/webp/photo/p2/150/2025/03/11/F-REZA-2320515539.jpg

Read More

menu