Belajar dari ‘Kisruh’ Pendaftaran Merek Citayam Fashion Week

26 July 2022

Jakarta – Dalam minggu-minggu terakhir ini munculnya fenomena Citayam Fashion Week (CFW) cukup banyak menyita perhatian publik. Kegiatan yang terpusat di Kawasan Stasiun Dukuh Atas, Jakarta Pusat itu bukan saja menuai pro dan kontra dalam pelaksanaannya, tetapi juga diramaikan oleh kalangan selebritas khususnya saat bersinggungan dengan isu-isu terkait Hak Kekayaan Intelektual setelah diajukannya permohonan pendaftaran merek Citayam Fashion Week oleh beberapa pihak.
Jika reaksi publik semula hanya terbatas pada pro dan kontra atas penyelenggaraan kegiatan peragaan busana di tempat penyeberangan jalan umum, maka belakangan warganet menambah keriuhan dengan bereaksi atas permohonan pendaftaran merek tersebut.

Ditinjau dari hukum merek, sebenarnya tidak ada larangan bagi siapapun yang hendak mendaftarkan suatu merek. Suatu permohonan pendaftaran merek tidak langsung mendapat persetujuan (granted) karena proses pendaftaran merek memakan waktu yang tidak sebentar. Meskipun proses pendaftaran merek membutuhkan usaha yang tidak sedikit, kenyataannya hal itu dirasakan oleh banyak kalangan sebagai hal yang penting.

Kepemilikan atas suatu merek terdaftar menjadi penting karena melahirkan suatu hak eksklusif bagi pemilik merek tersebut untuk menggunakan sendiri mereknya. Pemilik merek terdaftar juga berhak melarang pihak lain untuk menggunakan merek apapun yang sama pada keseluruhannya atau sama pada pokoknya dengan merek terdaftar miliknya untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan diperdagangkan.

Memang demikianlah fungsi utama suatu merek: membedakan asal-usul suatu barang atau jasa yang diproduksi dan diperjualbelikan di masyarakat. Tidak semua pihak menyadari pentingnya hak eksklusif ini. Prinsip dasar pendaftaran merek yaitu first to file yang memberikan prioritas dan peluang lebih besar bagi pendaftar pertama untuk memperoleh hak eksklusif tersebut, menyebabkan banyak pihak segera memanfaatkan peluang dan buru-buru mendaftarkan suatu merek.

Termasuk di antara mereka yang melakukan hal ini adalah para trademark squatter yang bergerak cepat mendaftarkan banyak merek terkenal dari luar negeri karena melihat peluang bahwa merek-merek tersebut belum didaftarkan di Indonesia oleh pemiliknya. Hal ini pula yang menjadi sorotan publik ketika merek Citayam Fashion Week yang kian hari kian popular di kalangan masyarakat dan ternyata belum didaftarkan oleh penggagas kegiatan CFW itu sendiri.

Warganet bereaksi, demikian pula para pakar dan pejabat pemerintah. Sebagian besar mendukung wacana untuk mendaftarkan merek Citayam Fashion Week, namun pendaftaran tersebut harus ‘dikembalikan’ kepada mereka yang pertama kali menggagas kegiatan itu. Tidak sedikit di antara warganet yang menyindir bahkan menghujat pihak-pihak lain yang terkesan buru-buru mendaftarkan merek tersebut dengan berbagai cara.

Namun ada pula yang mengusulkan agar merek tersebut tidak didaftarkan atau dikuasai oleh individu maupun perusahaan tertentu dan mengusulkan agar hak atas merek itu sebaiknya didaftarkan oleh pemerintah daerah saja. Usul ini jelas bukan suatu hal yang tepat terutama jika mengingat fungsi merek sebagai tanda untuk membedakan asal-usul barang atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan.

Tidak tepat bagi pemerintah untuk menjadi pemegang hak atas merek karena tugas pemerintah bukan memproduksi dan menjual produk barang atau jasa apapun. Tugas utama pemerintah berkaitan dengan penyelenggaraan negara termasuk memfasilitasi masyarakat untuk mendaftarkan mereknya.

Disadari atau tidak, the power of netizen pada akhirnya berhasil meningkatkan kesadaran publik bahwa pendaftaran merek merupakan hal penting namun harus diletakkan pada prinsip keadilan. Masyarakat yang pada umumnya berpihak pada penggagas kegiatan fashion week itu menimbulkan reaksi bagi mereka yang ‘telanjur’ mengajukan permohonan pendaftaran merek Citayam Fashion Week.

Pihak-pihak tersebut harus ‘ikhlas’ menarik kembali permohonan pendaftaran mereka. Kritik dan hujatan yang dialamatkan kepada mereka ibarat suatu sanksi sosial yang sebenarnya tidak perlu diartikan sebagai suatu penghinaan jika para pemohon pendaftaran merek tersebut mampu memberikan jawaban dan penjelasan yang baik kepada publik.

Setelah Penarikan Kembali

Dengan diajukannya penarikan kembali atas permohonan pendaftaran merek Citayam Fashion Week, selanjutnya yang menjadi persoalan adalah apakah kesadaran untuk mendaftarkan merek tersebut tumbuh di kalangan anak-anak muda penggagas kegiatan itu? Apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk melindungi merek Citayam Fashion Week tersebut dari pihak-pihak yang pada masa mendatang kembali mengajukan permohonan pendaftaran merek itu baik di dalam maupun di luar negeri?

Setidaknya hingga saat tulisan ini disusun, belum terlihat adanya kesadaran anak-anak muda itu untuk mendaftarkan merek Citayam Fashion Week yang telah melambungkan nama mereka selama ini. Jika penyebabnya adalah karena keterbatasan pengetahuan maupun finansial, hal ini sebenarnya bukan merupakan masalah besar jika pemerintah memfasilitasi mereka untuk mengajukan permohonan pendaftaran merek tersebut.

Secara teoretis, peluang terdaftarnya merek tersebut sebenarnya cukup besar bagi anak-anak muda penggagas kegiatan CFW. Bukan saja karena mereka memiliki modal berupa pengakuan politis warganet sebagai penggagas kegiatan tersebut dengan segala keterbatasannya, namun kenyataannya memang belum ada yang pernah mendaftarkan Citayam Fashion Week sebagai merek selama ini. Jangankan mendaftarkan, menggaungkannya di masyarakat pun belum pernah!

Anak-anak muda inilah yang entah bagaimana mulanya mampu menjadikan kegiatan CFW sebagai magnet yang mengumpulkan kaum muda di Stasiun Dukuh Atas dan membuat plesetan singkatan SCBD menjadi Sudirman, Citayam, Bojonggede, Depok yang lebih bernuansa ‘kerakyatan’ dan tidak terlalu berbau komersial. Selama ini singkatan SCBD memang lekat dengan kalangan bisnis dan pekerja.

Bukan cuma singkatan dan lokasi SCBD, kegiatan peragaan busana atau fashion show pun seolah-olah dianggap milik kaum berdasi, kaum pemodal dan kapitalis yang kini menjadi cibiran di media sosial terutama bagi mereka yang mengadvokasi kepentingan anak-anak muda penggagas kegiatan CFW yang dipandang sebagai simbol kebangkitan kreativitas masyarakat pinggiran Jakarta.

Munculnya pendaftaran merek Citayam Fashion Week menunjukkan bahwa kontrol sosial melalui media sosial jauh lebih kuat dan lebih cepat dibandingkan mekanisme hukum yang cenderung formal dan prosedural. Meskipun Pasal 21 Ayat (3) UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis tegas mengatur bahwa permohonan pendaftaran merek ditolak jika diajukan oleh Pemohon yang beriktikad tidak baik (bad faith), namun mekanisme penolakan ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Undang-undang Merek juga telah memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengajukan keberatan (oposisi) terhadap permohonan pendaftaran merek Citayam Fashion Week selama dua bulan masa pengumuman atau publikasi. Namun agaknya opsi ini bukan pilihan utama bagi masyarakat.

Pertama, kenyataannya memang belum ada yang pernah lebih dulu mendaftarkan merek Citayam Fashion Week yang dijadikan dasar untuk mengajukan keberatan terhadap permohonan pendaftaran merek baru yang dianggap sama atau menyerupai merek itu. Kedua, dan ini yang terpenting, mengajukan keberatan atau oposisi bukannya tanpa biaya dan tidak menjamin pemohon oposisi akan dikabulkan atau dimenangkan.

Kisruhnya soal pendaftaran merek Citayam Fashion Week juga perlu dipahami bahwa seharusnya pemerintah di tingkat pusat maupun daerah mampu memfasilitasi kelompok-kelompok masyarakat kreatif, namun selama ini termarjinalkan untuk memiliki kesadaran akan pentingnya kekayaan intelektual.

Tidak bijak jika pemerintah hanya mengharapkan bertambahnya Pemasukan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari mereka yang secara finansial mampu membayar biaya resmi pendaftaran merek, namun mengabaikan potensi ekonomi kreatif khususnya di daerah yang sebenarnya dapat memutar roda perekonomian lebih besar jika pemerintah memfasilitasi pendaftaran kekayaan intelektual tanpa memungut biaya.

Dalam konteks inilah sebaiknya disadari bahwa hujatan terhadap para pemohon pendaftaran merek Citayam Fashion Week agar diakhiri dan beralih pada upaya mengembalikan merek tersebut dengan cara mendaftarkannya atas nama anak-anak muda penggagas kegiatan itu.

Donny A. Sheyoputra, S.H., M.Si (Han) LL.M advokat, konsultan HKI pada kantor SHEYOPUTRA Law Office

Baca artikel detiknews, “Belajar dari ‘Kisruh’ Pendaftaran Merek Citayam Fashion Week” selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-6201532/belajar-dari-kisruh-pendaftaran-merek-citayam-fashion-week.

Read More

menu