progresifjaya.id, JAKARTA – Seperti kata pepatah “Jauh panggang dari Api”. Begitulah surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) M. Yasin, SH, terhadap Amin Anwar (66) yang duduk di kursi pesakitan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat.
Amin Anwar yang didakwa dan dituntut hukuman 1 tahun dan 6 bulan karena dituduh menganiaya Mery Tanumiharja, oleh jaksa dinyatakan terbukti melakukan kelalaian melanggar pasal 360 ayat (1) KUHPidana dan menyebabkan luka berat.
Anehnya, visum dokter hanya menyatakan luka ringan, itupun hingga saat ini JPU tak mampu menghadirkan dokter yang mengeluarkan surat visum untuk diminta keterangannya sebagai ahli di persidangan.
Seperti diketahui, dalam proses persidangan, dakwaan jaksa terhadap terdakwa Amin Anwar tidak terbukti, karena tidak sesuai dengan keterangan saksi-saksi yang diperiksa keterangannya dalam persidangan.
Mulanya JPU mendakwa Amin Anwar telah mendorong Mery Tanumiharja, namun hasil pemeriksaan para saksi membuktikan bahwa tidak ada satu pun yang melihat Amin Anwar mendorong wanita yang sejak awal datang dengan kaki pincang dan diperban pada hari kejadian itu.
Dari keterangan semua saksi-saksi yang dihadirkan oleh JPU dan telah diperiksa keterangannya dalam persidangan, mengatakan, seperti keterangan saksi Nicholas dan Janto Tjandra mengatakan mereka memang mengetahui ada percekcokan antara isteri terdakwa dan Mery Tanumiharja di ruang rapat.
Namun, mereka tidak melihat adanya penganiayaan sebagaimana dilakukan oleh Amin Anwar dengan cara mendorong Merry Tanumiharja.
Keterangan yang sama juga dikatakan oleh saksi Arief Munandar dan saksi Ronny, keduanya adalah karyawan RM Seleraku, saksi Karina (manager RM Seleraku) dan saksi Tjay Hon Tjoeng (adik ipar saksi korban) yang mengatakan bahwa tidak ada penganiayaan dan mendorong dilakukan terdakwa Amin Anwar terhadap Mery Tanumiharja.
Para saksi dalam keterangan juga mengatakan sewaktu saksi Mery Tanumiharja datang menghadiri undangan rapat para pemilik kios di Orion Plaza di RM Seleraku, kondisi berjalannya saksi Mery Tanumiharja terlihat tertatih-tatih (pincang dan dengan sepatu yang berbeda).
Para saksi juga mengakui bahwa situasi tangga yang menjadi tempat jatuhnya korban tidak tersorot oleh CCTV dan hanya diterangi oleh cahaya lampu yang redup sehingga berpotensi membuat orang terjatuh jika tidak berhati-hati.
Satu-satunya saksi yang mengaku melihat Amin Anwar mendorong Mery Tanumihardja adalah saksi Tjay Hon Kim yang tak lain adalah suami Mery Tanumiharja sendiri sehingga obyektivitasnya layak diragukan.
Bahkan ketika Mery Tanumihardja disebutnya jatuh dan terantuk lantai tangga, kesaksiannya dibantah oleh Arif Munandar yang menyatakan bahwa Mery Tanumihardja tidak sempat terantuk lantai karena ia secara kebetulan lewat dan langsung menangkapnya dengan cara menopang kedua bagian lengan di antara ketiak korban sehingga Mery Tanumihardja tidak terjatuh.
Kesaksian Tjay Hon Kim ini bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh istrinya sendiri yang mengatakan bahwa ia terjatuh bukan karena didorong tetapi karena tali tasnya terputus sewaktu tarik menarik dengan Amin Anwar.
Namun keterangan Mery tersebut tidak sesuai dengan keterangan Arif Munandar, karyawan RM Seleraku, yang melihat Merry hilang keseimbangan mau terjatuh, tapi sempat ditangkap oleh saksi Arif Munandar.
“Sewaktu mau terjatuh dari 3-2 anak tangga yang terakhir, saya menangkap badan saksi korban Mery Tanumiharja hingga tidak jatuh ke lantai dan Mery berjalan cepat menuju depan restaurant tanpa ada cedera apapun,” kata Arif Munandar.
Namun dalam tuntutannya, JPU menafikan semua kesaksian tersebut di atas, dan tetap menyatakan “Mery Tanumiharja terdorong dan jatuh tersungkur (nyungsep) ke tangga paling bawah”.
“Mery Tanumiharja sakit, tidak bisa jalan…”. Ini jelas merubah pernyataan para saksi di bawah sumpah dan sangat menyesatkan.
Dalam tuntutannya, Jaksa juga tidak jujur karena kesaksian penyidik Polsek Tamansari bernama Hotman yang ikut memeriksa perkara ini tidak disertakan.
Sebelumnya, Hotman mengakui bahwa berdasarkan hasil observasi tim Buser Polsek Taman Sari menunjukkan bahwa tangga itu memang tidak terlalu terang, lantainya berwarna gelap, lampu penerangnya tidak terang benderang dan apa yang terjadi di tangga sama sekali tidak terpantau oleh CCTV.
Saksi-saksi pun tidak ada yang melihat Amin Anwar mendorong Mery Tanumihardja sebagaimana yang dinyatakan oleh JPU dalam surat dakwaannya.
Penyidik bahkan mengakui bahwa perkara ini disidik tidak dengan profesional karena berkas perkara dibuat oleh mantan penyidik bernama Teguh yang sebenarnya telah pensiun pada bulan Februari atau Maret, namun ia tetap memaksakan diri untuk melanjutkan penyidikan dan menyusun berkas perkara.
Penyidik ini lalu seenaknya mengganti nama dan NRP-nya dengan nama Hotman sehingga seolah-olah penyidikan dan pemberkasan dilakukan oleh Hotman sebagai penyidik yang sah.
Justru dari pihak Mery Tanumihardja-lah yang menyebabkan penyidikan itu berjalan tidak profesional karena kuasa hukum Mery Tanumihardja memaksakan agar berkas dapat secepatnya dilimpahkan ke Penuntut Umum meskipun penyidik masih berusaha untuk melengkapi bukti-bukti yang dianggap belum cukup.
Bahkan kuasa korban ini sengaja tidak menyerahkan tas Mery Tanumihardja untuk keperluan penyidikan, meskipun penyidik telah berkali-kali memintanya sebagai barang bukti karena disebut memiliki tali rantai yang terputus akibat tarik menarik dengan Amin Anwar.
Ulah ini membuat penyidik tidak dapat membuktikan ada tidaknya sidik jari Amin Anwar karena tas itu baru diserahkan 7 bulan setelah kejadian di restaurant Seleraku itu, sehingga orisinalitas barang bukti layak diragukan.
Penyidik juga mengakui kekhilafannya karena tidak memasukkan berkas pemeriksaan terhadap Prof. Agus Budianto, ahli hukum pidana dan hukum acara pidana yang dihadirkan pada saat penyidikan.
Dalam tuntutannya JPU malah mengganti semua keterangan Prof. Agus Budianto dan menjadikannya sebagai saksi a de charge dengan menyebutkan seolah – olah ia mengenal Amin Anwar secara pribadi dan mengetahui rencana penutupan Orion Plaza, dan seolah-olah ia hadir di dalam pertemuan para pemilik kios pada tanggal 20 Februari 2023.
Hal ini tidak mungkin terjadi karena sebagai ahli, Prof. Agus Budianto bukan merupakan saksi fakta a de charge seperti yang ditulis oleh JPU dalam tuntutannya.
Selain itu JPU juga mengganti keterangan Prof Agus Budianto menjadi, “Bahwa terdakwa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka luka” dan “Bahwa kesalahan terdakwa memenuhi unsur Pasal 360 KUHP”.
Padahal saat diperiksa di persidangan Prof Agus sebagai Ahli Pidana tidak pernah membuat keterangan itu di pengadilan.
JPU juga mengganti keterangan saksi Janto Tjandra menjadi: “… Bahwa istri terdakwa merebut handphone korban yang ada di dalam tas dan terjadi tarik tarikan tas” dan “Bahwa tiba-tiba terdakwa dengan menggunakan kedua tangannya mendorong korban….”.
Jelas Janto Tjandra tidak pernah membuat keterangan itu di pengadilan, karena ia sama sekali tidak berada di lokasi tangga yang disebut menjadi tempat kejadian.
Kasus yang menjerat terdakwa Amin Anwar itu, dinilai primatur dan sangat dipaksakan karena tekanan dari kuasa hukum Mery Tanumihardja yang berlagak seolah-olah dapat mempengaruhi jalannya penyidikan, termasuk menghalangi penyidik mencari kebenaran akibat tas yang harusnya disita untuk dilakukan pemeriksaan sidik jari Amin Anwar, malah dipinjam pakai tanpa ada dasar hukum dan alasan yang jelas.
Terdakwa Amin Anwar disinyalir adalah korban dari kriminalisasi hukum, sebagaimana diketahui dari keterangan saksi Hotman yang bertugas di Polsek Tamansari.
“Yang mengintervensi dirinya itu, terjadi sejak pembuatan laporan diberikan oleh penasehat hukum pihak pelapor,” kata Hotman di ruang sidang.
Oleh kuasa hukum pelapor diminta dipaksa naik dan lanjut ke proses ke persidangan meskipun kepolisian merasa bahwa adanya kekurangan bukti untuk diserahkan kepada majelis hakim pada saat process persidangan.
“Jika tidak dilanjutkan, Penasehat hukum mengancam, pihak pelapor akan melaporkan dirinya ke Paminal kepolisian Polda Metro Jaya,” ujar saksi Hotman, dihadapan majelis hakim.
Penyidik Hotman yang merasa tertekan akibat dilapor-laporkan ke berbagai pihak akhirnya melempar bola panas tanggung jawabnya dengan melimpahkan ke JPU
Pada kesempatan berbeda terdakwa Amin Anwar mengatakan, tidak menganiaya dan tidak pernah mendorong saksi korban Mery Tanumiharja, baik secara sendiri maupun bantuan isterinya.
Saat itu dirinya hanya sebatas mengikuti untuk melindungi kepentingan isterinya (Hwer Chuang Chua) yang difoto oleh korban Mery tanpa izin.
Kronologi
Awal terjadinya perkara pada tanggal 20 Februari 2023 di lantai 2 Restoran Seleraku, di Jalan Mangga Besar Raya, Tamansari Jakarta Barat.
Ketika itu terdakwa Amin Anwar selaku wakil pengelola gedung Orion Plaza, hadir di rapat pertemuan dengan puluhan pemilik kios yang dimulai jam 18.00 WIB.
Amin Anwar menjelaskan bahwa gedung Orion Plaza sudah tidak layak dioperasikan karena gedung pernah terbakar pada kerusuhan Mei 1998 meskipun pernah direnovasi. Renovasi terakhir 5 tahun lalu untuk memperoleh Surat Layak Fungsi (SLF) itu hanya dilakukan sebagian karena 49% dari pemilik tidak mau bayar biaya renovasi.
(Orion Plaza tidak memungut “Sinking Fund / Dana Cadangan karena ditolak para pemilik, meskipun ini diwajibkan oleh pemerintah untuk semua pemilik toko/kios/apartment Strata Title seperti Plaza Orion).
Akibatnya Orion Plaza banyak mengalami kerusakan dan tidak dapat dilakukan perbaikan karena keterbatasan biaya. SLF akan berakhir dan PLN sudah info akan memutuskan daya karena tagihan-tagihan yang tertunggak lama.
Para pemilik mengadakan beberapa meeting untuk cari solusi, tetapi tetap tidak ada titik temu. Pelapor Tjay Hon Kim tidak pernah hadir di 7 (tujuh) pertemuan-pertemuan tersebut, dan hanya hadir yang terakhir yakni tanggal 20 Februari 2023.
Pada pertemuan itu, mayoritas pemilik kios menyetujui usulan penutupan / pelalangan / penjualan tersebut, namun ada beberapa orang yang keberatan jika Orion Plaza harus ditutup dan dihentikan operasionalnya.
Diantara beberapa orang yang keberatan itu, yakni Tjay Hon Kim dan isterinya bernama Mery Tanumiharja yang pada saat rapat tersebut, terus menerus interupsi dan memotong pembicaraan dan penjelasan Amin Anwar, hingga tidak dapat menyelesaikan penjelasannya hanya bisa sampai materi presentasi di slide ke-2.
Pada saat itu, isteri Amin Anwar yang merupakan warga negara asing dan tidak lancar berbahasa Indonesia yang mengetahui penjelasan suaminya selalu disela akhirnya berkata, “Kalau penjelasan pak Amin disela terus, sampai kapan presentasi ini bisa berlangsung karena penjelasan tidak akan tuntas”.
Mendengar hal itu, Mery Tanumiharja membentak istri Amin Anwar dan menyuruhnya diam dengan alasan tidak berhak berbicara sambil bertanya “Kamu siapa?!”
“Saya isterinya Amin Anwar dan juga berhak bicara,” jawabnya.
Cekcok terus terjadi di ruangan tersebut hingga istri Amin Anwar yang merasa jengkel bertanya “Why are you so bitchy”.
Mengetahui percekcokan tersebut, orang-orang lalu berusaha menengahinya dan kembali untuk melanjutkan diskusi.
Dan kemudian Mery Tanumiharja. meninggalkan ruangan bersama suaminya.
Tak berapa lama kemudian, Merry Tanumiharja naik lagi sendirian ke ruang rapat di lantai 2, untuk mengambil foto istri Amin Anwar dari jarak yang sangat dekat sambil berkata, “Kamu ngatain saya pelacur dan saya mau laporkannya ke polisi”.
Istri Amin Anwar yang tidak terima dirinya di foto, menyuruh menghapus fotonya kepada Mery Tanumiharja yang berlari dengan terpincang-pincang dari lantai 2 ke lantai 1.
Hal inilah yang akhirnya mengakibatkan ia terjatuh namun selanjutnya menuduh Amin Anwar telah mendorongnya hingga jatuh.
Sejak awal Mery Tanumiharja datang ke RM Seleraku dalam kondisi kaki pincang yang mengunakan sepatu yang berbeda untuk kaki kiri dan kanan. Kaki kanannya mengenakan sepatu khusus untuk terapi dan kaki kiri memakai sepatu seperti bermerek “Croc”.
Oleh karena kondisi kaki yang sejak awal tidak stabil, saat berlari dengan terpincang-pincang menuruni anak tangga,saksi Merry Tanumiharja keserimpet hingga terjatuh sebelum dua atau tiga anak tangga terakhir menuju lantai dasar.
Menanggapi tuntutan JPU yang mengada – ada dan berani mengubah kesaksian para saksi dan ahli di persidangan, Donny A. Sheyoputra, S.H., LL.M., selaku penasehat hukum terdakwa Amin Anwar menyatakan, klien kami telah menjadi korban kriminalisasi atas proses hukum yang tidak adil di tingkat penyidikan yang dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum.
Proses pemberkasan dilakukan oleh seseorang yang sudah bukan lagi menjabat sebagai polisi, bukan lagi penyidik, namun terus dikerjakan olehnya dengan alasan tanggung jawab sisa pekerjaan sebelum pensiun.
“Dan kini kejaksaan malah mengulangi kezaliman serupa dengan mengganti keterangan para saksi dan ahli hukum pidana di persidangan sebagaimana dimasukkan di surat tuntutannya. Kejaksaan tak mampu menghadirkan dokter yang melakukan visum sebagai ahli untuk menguatkan dakwaannya, tetapi malah mengganti keterangan mereka yang hadir di persidangan seenaknya,” ujarnya.
Dua penasehat hukum Terdakwa Amin Anwar yaitu Isnaya Denaswari, S.H. dan Cika Ghassani, S.H. menambahkan, “Semoga Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini dapat memberikan keputusan yang adil bagi klien kami untuk memutus kezaliman penyidik dan JPU yang jelas mengkriminalisasi orang tanpa bukti yang cukup dan dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum.” (AT)