Industri hiburan, khususnya jagat musik Tanah Air, kembali diramaikan oleh kasus dugaan pelanggaran hak cipta. Kali ini, menyasar penyanyi dangdut kondang, Lestiani atau Lesti Kejora, yang dilaporkan ke Polda Metro Jaya (PMJ) oleh pencipta lagu, YD. Lesti kena tuding membawakan lagu tanpa izin sejak 2018 lalu hingga sekarang.
Kasus Lesti pertama kali diungkap oleh Kabid Humas Polda Metro, Kombes Ade Ary, Selasa (20/5/2025). Ade Ary menyebut bahwa Lesti dilaporkan oleh kuasa hukum dari seseorang yang mengaku sebagai pencipta lagu yang dibawakan oleh Lesti, Minggu (18/5/2025).
Ade mengatakan, Lesti dilaporkan karena diduga mengcover lagu ciptaan YD. Bahkan, Lesti juga mengunggahnya ke sosial media seperti YouTube tanpa sepengetahuan penciptanya. Dia menyebut, pihak pelapor sudah menyerahkan sejumlah barang bukti kepada PMJ.
Kini tengah dilakukan pemeriksaan dan penelaahan oleh pihak PMJ. Dalam laporan ini, Lesti diduga melanggar Pasal 113 jo. Pasal 9 UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, dengan ancaman pidana paling lama 4 tahun dan atau dengan pidana denda paling banyak Rp1 miliar.
“Pelapor selaku kuasa dari korban, menerangkan kepada Polda Metro Jaya bahwa korban adalah pemilik hak cipta atas beberapa lagu berdasar surat pernyataan publisher yang dikeluarkan sebuah PT, PT ASKM,” kata Ade kepada wartawan di PMJ.
Keterangan kepolisian, kasus dugaan pelanggaran hak cipta ini berlangsung sejak 2018. YD sendiri merasa haknya dilanggar sehingga menempuh upaya hukum. Polisi sudah menerima barang bukti dari pelapor seperti flashdisk, pernyataan publisher, dan print out cover lagu.
YD disebut memiliki hak eksklusif atas beberapa lagu lewat surat pernyataan dari publisher resmi PT ASKM. Seperti lagu berjudul “Cinta Bukanlah Kapal”. Lagu lain ciptaan YD yang pernah dinyanyikan Lesti, adalah “Bagai Ranting yang Kering”, “Arjuna Buaya”, dan “Buaya Buntung”. Kepolisian menjelaskan dugaan pelanggaran muncul sebab Lesti meng-cover dan mengunggah lagu-lagu tersebut ke YouTube tanpa izin dari YD.
Di sisi lain, dalam keterangan tertulis, pihak Lesti menyatakan menghormati langkah hukum yang diambil YD. Namun, pihak Lesti juga menekankan agar menjunjung asas praduga tak bersalah dan menunggu perkembangan penyelidikan dari kepolisian. Pihak kuasa hukum Lesti juga tengah mempelajari dasar hukum dari laporan tersebut.
“Kami meminta kepada seluruh pihak untuk menunggu kejelasan lebih lanjut atas perkembangan penanganan perkara ini agar tidak menjadi sebuah pemberitaan yang simpang siur dan tidak dapat dipertanggungjawabkan,” ungkap kuasa hukum Lesti Kejora, Sadrakh Seskoadi, dalam pernyataan tersebut.
Sementara itu, YD sendiri mengklaim sudah mencoba menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan, dengan mengirim dua kali somasi. Namun, somasi YD tidak ditanggapi oleh pihak Lesti maupun timnya. Ia mengaku langkah hukum menjadi pilihan terakhir usai semua pendekatan damai tak membuahkan hasil.
“Kalau saya dari awal juga enggak ada niatan bawa ke polisi. Tapi udah datang baik-baik, enggak digubris juga,” ujarnya dilansir kompas.tv.
Polemik pencipta lagu YD dengan penyanyi Lesti, tercatat sebagai salah satu daftar panjang kasus kusutnya penegakan regulasi royalti (performing rights) di Indonesia. Alhasil, pencipta maupun performer/penyanyi diposisikan berada dalam situasi saling berhadap-hadapan. Jika tak mendapatkan atensi pemangku kebijakan, hal ini tentu berpotensi merugikan kedua belah pihak dan mencoreng industri musik Tanah Air.
Februari 2025 lalu, putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menetapkan bahwa penyanyi Agnez Mo harus membayar ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar kepada pencipta lagu ”Bilang Saja”, Ari Bias. Majelis hakim menilai Agnez Mo telah menyanyikan lagu tersebut sebanyak tiga kali sehingga melanggar ketentuan Pasal 9 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut menuai pro dan kontra baik dari kalangan musisi dan pegiat hukum yang aktif pada bidang kekayaan intelektual. Agnez sendiri sampai bertemu langsung Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas.
Dalam pertemuan itu, Supratman mengapresiasi sikap dan langkah Agnez perihal royalti tanpa ikut campur substansi putusan Pengadilan Niaga. Supratman menyampaikan bahwa keluhan Agnes dan beberapa musisi akan menjadi bahan pertimbangan dalam rencana revisi Undang-Undang Hak Cipta yang dibahas di DPR RI.
Kendati begitu, Direktur Direktorat Hak Cipta dan Desain Industri Kemenkum, Agung Damar Sasongko, sepakat dengan pandangan Agnez Mo. Menurutnya, penyanyi bukan merupakan subjek hukum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 87 Ayat (2) UU Nomor 28/2014 tentang Hak Cipta jo. Pasal 9 dan 10 Peraturan Pemerintah Nomor 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
“Pihak yang bertanggung jawab atas pembayaran royalti atas pertunjukan Agnes Monica pada HWG Event adalah penyelenggara konser/pertunjukkan,” kata Agung.
Dalam UU Hak Cipta, pembayaran royalti atau performing rights kepada pencipta/pemegang hak cipta diwadahi lewat Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Royalti menjadi hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengontrol penggunaan karya dalam pertunjukan publik.
Pasal 9 UU Hak Cipta menyatakan pencipta/pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi. Hak itu diklasifikasikan dalam sembilan jenis, di antaranya termasuk pertunjukan ciptaan dan penggandaan ciptaan. Ayat 2 Pasal 9 menyatakan, setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta.
Namun, hak ekonomi tersebut harus dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Di tingkat nasional, juga dibentuk LMK Nasional (LMKN) yang menghimpun royalti pencipta/pemegang hak cipta dari pengguna. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 87 UU Hak Cipta.
Sering kali LMKN belum memuaskan pihak pencipta/pemegang hak cipta karena tak dilengkapi laporan pengelolaan royalti yang transparan. Ujung-ujungnya, justru terjadi konflik horizontal antara pencipta dan penyanyi/performer karena ketidakpuasan atas penegakan hak royalti atau performing rights.
Namun, sebagaimana yang saat ini menimpa Lesti Kejora, perlukah dalam hal ini penyanyi atau performer sampai harus diseret ke ranah pidana?
Konsultan sekaligus pengacara bidang kekayaan intelektual, Donny A Sheyoputra, menyampaikan bahwa persoalan penyelesaian pelanggaran hak cipta yang diatur dalam UU Hak Cipta memang tetap harus mencantumkan mekanisme penyelesaian sengketa secara pidana maupun perdata. Akan tetapi pelaksanaan secara pidana memerlukan kehati-hatian.
Untuk Ciptaan berupa musik atau lagu, kata Donny, penyelesaian sengketa secara pidana lebih cocok ditujukan terhadap pelanggaran hak cipta pada perbuatan seperti pengumuman, penjualan atau pengedaran, penyewaan ciptaan atau karya cipta, yang jelas adalah produk bajakan.
Maka, jalur pidana dalam hal ini lebih tepat ditujukan untuk para pelaku pengganda dan/atau penjual produk bajakan dalam bentuk apapun, misalnya: VCD, CD, DVD, MP3, MP4, film bajakan, software bajakan, game komputer bajakan, buku bajakan dan sebagainya.
“Untuk persoalan royalti yang terkait dengan dinyanyikannya lagu seseorang secara tanpa izin, sebenarnya hal tersebut meskipun dapat dipertimbangkan untuk diselesaikan secara pidana oleh si pencipta lagu, saya berpendapat bahwa hal itu sebenarnya kurang tepat,” kata Donny kepada wartawan Tirto, Senin (26/5/2025).
Donny menilai bahwa UU Hak Cipta mengatur persoalan pengumpulan dan mekanisme royalti melalui satu wadah yang disebut LMKN. LMKN terdiri dari beberapa LMK. Seorang pencipta lagu harus bernaung sebagai anggota di salah satu LMK agar dapat menerima royalti yang dikumpulkan oleh LMK tersebut.
Masalahnya, kata Donny, di banyak kasus para pencipta lagu belum menjadi anggota LMK sehingga merasa tidak perlu tunduk terhadap aturan tentang mekanisme pemungutan dan pembagian royalti. Akhirnya, terdapat pencipta lagu yang menuntut royalti dengan langkah pidana (melaporkan ke polisi) atau perdata (menggugat ke Pengadilan Niaga).
LMKN sendiri dinilai Donny masih belum maksimal dalam pengelolaan hak royalti. Padahal lembaga ini bisa menjadi wadah yang mempertemukan kepentingan pencipta dan penyanyi.
Misalnya, LMKN sebagai lembaga negara tidak memiliki anggaran operasional jelas secara khusus sehingga memotong royalti yang dikumpulkan sebelum dibagikan kepada LMK untuk disalurkan kepada pencipta. LMKN juga tidak menyusun katalog lagu yang memuat daftar pencipta sehingga akurasi pembagian royalti yang dikumpulkan sangat rendah. Terakhir, kata Donny, tidak ada transparansi dalam penunjukan pengurus LMKN.
“Menurut saya UU Hak Cipta perlu diperbaiki, kalau perlu diganti. LMKN disosialisasikan kepada publik dengan lebih baik. Menurut saya, UU Hak Cipta tetap harus memberdayakan LMKN jika memang lembaga ini yang akan ditunjuk oleh negara untuk mengumpulkan royalti,” ujar Dony.
Tirto sudah meminta pandangan LMKN lewat Ketua LMKN, Dharma Oratmangun. Ketika dihubungi, Dharma meminta waktu untuk menyiapkan jawaban tertulis karena dalam kasus seperti ini, ia mengaku pernyataannya sering kali dipelintir sehingga tak sesuai substansi. Namun, saat dikonfirmasi lebih lanjut, Dharma belum merespons lagi pertanyaan dari Tirto.
Penulis isu musik sekaligus founder Wara Musika, Dzulfikri Putra Malawi, melihat diskursus soal regulasi royalti (performing rights) di kalangan pencipta sendiri meruncing menjadi dua aliran pandangan. Pertama, pencipta yang terfokus menggunakan Pasal 9 dalam UU Hak Cipta. Prinsip aliran pandangan ini, kata Dzulfikri, setiap karya yang ingin dibawakan ulang oleh performer/penyanyi, harus mendapat izin langsung dari pencipta.
Pandangan kedua, adalah pencipta yang menghormati aturan dalam UU Hak Cipta, dimana urusan soal royalti sudah diatur lewat LMK dan LMKN. Dzulfikri menilai pencipta ini memiliki mindset manajemen dan pengembangan IP yang lebih baik.
“Mazhab [pertama] ini yang membuat kisruh soal izin dan tuntut menuntut penyanyi,” ucap Dzulfikri kepada wartawan Tirto, Senin (26/5).
Ia menilai, prinsip dalam UU Hak Cipta sebetulnya bukan mengedepankan tuntutan pidana. Menurutnya, urusan terkait hak cipta dan royalti apabila meruncing, seharusnya mengambil ranah gugatan perdata atau lewat pengadilan niaga, seperti kasus Ari Bias-Agnez Mo. Lebih lanjut, ia berpendapat dalam kasus ini masih ada salah tuntut.
Persoalannya, masih banyak advokat atau pendamping hukum pihak pencipta yang punya pandangan agar menyeret kasus polemik HAKI ke ranah pidana. Biasanya, diawali somasi dan diteruskan dengan laporan ke kepolisian. Padahal, sesuai UU Hak Cipta, lebih tepat untuk mengarahkan tuntutan kepada penyelenggara acara, bukan kepada penyanyi.
“Soal performing rights, dimana yang berkewajiban bayar adalah user (penyelenggara event /EO) bukan penyanyi. Tapi sama si lawyer yang dituntut penyanyi. Padahal penyanyinya nggak ngerekam dan menggandakan lagu tersebut, hanya cover misalnya,” ucap Dzulfikri.
Menurutnya, keberadaan UU Hak Cipta dibuat agar membuat hak ekonomi pencipta diatur dengan prinsip mempermudah pengumpulan dan distribusi. Bukan sekadar mengakomodasi kepentingan pencipta semata.
Apabila pengumpulan royalti LMK dan LMKN dianggap belum memuaskan, pihak pencipta dengan kompak dapat mendesak adanya paparan detail atas laporan pengumpulan dan distribusi royalti secara transparan.
Dzulfikri berpendapat, dalam industri musik, sudah saatnya para pencipta mulai memahami konsep manajemen dan investasi yang baik. Dengan begitu, pencipta juga dapat memahami hak dan kewajibannya dalam berkarya.
“Karena jangan sampai protes dan larangan yang dilakukan pencipta lagu justru membuat siapapun tidak mau membawakan lagi lagu-lagu tersebut, dan akhirnya menutup pintu rezeki diri sendiri dalam konteks performing rights,” tutur pria yang juga menjabat sebagai Direktur Komunikasi Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) ini.
Source: https://tirto.id/kasus-lesti-kejora-dan-sengketa-royalti-yang-kian-rumit-hcis#google_vignette