Polemik Pidana Musik di Ruang Publik & Karut-Marut Tata Royalti

30 July 2025

Kasus Mie Gacoan ungkap polemik pidana musik di ruang publik. Tata kelola royalti di Indonesia kacau, hukum dan pelaku usaha saling seret.

Polemik dugaan kasus pelanggaran hak cipta penggunaan musik oleh PT Mitra Bali Sukses (MBS)–pemegang lisensi jenama Mie Gacoan di Bali–terus menjadi perbincangan. Hal ini karena Direktur PT MBS, I Gusti Ayu Sasih Ira, ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran hak cipta oleh Polda Bali.

Ira disangkakan memutar musik di gerai-gerai Mie Gacoan tanpa mematuhi aturan membayar royalti.

Diberitakan Tirto sebelumnya, Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Bali, Kombes Pol Teguh Widodo, menyatakan Jumat (25/7/2025) pekan lalu, pihaknya memeriksa 12 orang saksi dalam kasus ini. Sebanyak tiga orang di antaranya merupakan saksi ahli. Ia menyatakan, Polda Bali masih memeriksa Ira selaku direktur PT MBS.

Terdapat delapan lagu yang dilaporkan dalam kasus ini. Lagu tersebut terdiri atas lima lagu Indonesia dan tiga lagu asing. Lagu-lagu Indonesia yang dilaporkan meliputi: “Tak Selalu Memiliki” (Lyodra), “Begini Begitu” (MALIQ & D’Essentials), “Hapus Aku” (Nidji), “Kupu-kupu” (Tiara Andini), dan “Satu Bulan” (Bernadya).

Sementara itu, lagu asing yang dilaporkan adalah lagu penyanyi asal Amerika Serikat, Katy Perry, yang berjudul “Firework” dan “Wide Awake”, serta lagu “Rude” dari MAGIC!, grup musik asal Kanada.

“Ahli (yang terlibat) adalah ahli pidana, ahli hak cipta, dan ahli forensik digital,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Bali, Kombes Pol Teguh Widodo.

Kasus ini berawal dari pengaduan, tertanggal 26 Agustus 2024, oleh Lembaga Manajemen Kolektif Sentra Lisensi Musik Indonesia (LMK Selmi). Kemudian, laporan naik menjadi penyidikan tertanggal 20 Januari 2025.

Penetapan Ira sebagai tersangka diambil karena posisinya sebagai direktur PT MBS. Meski telah ditetapkan sebagai tersangka, belum dilakukan penahanan terhadap Ira. Sampai saat ini juga belum ada pernyataan publik yang dilontarkan Ira maupun pihak PT MBS.

Tarif Royalti dan Aturan Hak Cipta

Jumlah kerugian pada kasus PT MBS akan mengacu aturan dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti Untuk Pengguna Yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu, kategori restoran. Namun, dalam laporan polisi, belum terdapat nominal total royalti yang mesti dibayarkan PT MBS.

Pasal 1 angka 4 aturan itu menjelaskan penghitungan royalti di jasa kuliner berupa restoran dan kafe dihitung berdasarkan jumlah kursi per tahun. Rinciannya:

  • royalti pencipta sebesar Rp60 ribu per kursi per tahun dan
  • royalti hak terkait sebesar Rp60 ribu per tahun.

Sehingga total per kursi sebesar Rp120 ribu per tahun.

Pelapor kasus ini, Manajer Lisensi LMK Selmi, Vanny Irawan, dalam konferensi pers pekan lalu, menyatakan pelanggaran hak cipta PT MBS ditengarai sudah berjalan sejak 2022. Dia menyatakan LMK Selmi berkali-kali mengingatkan PT MBS soal pelanggaran itu, namun tak ditanggapi secara serius.

Pemidanaan terhadap direktur PT MBS, ungkap Vanny, adalah jalan terakhir setelah semua upaya somasi, hingga mediasi berujung buntu.

PT MBS sempat berjanji bakal membayar royalti sekaligus denda yang ditetapkan. Namun, Vanny menyatakan perusahaan itu hanya mengaku memiliki 17 gerai, padahal hitungan dari pihaknya, PT MBS memiliki sekitar 60-an gerai.

Soal nilai royalti yang harus dibayarkan Mie Gacoan dalam kasus ini, mengutip Tempo, Vanny menyatakan belum bisa membukanya ke publik sampai ada kepastian jumlah kursi yang sesuai dengan jumlah gerai milik PT MBS.

Nilainya miliaran rupiah karena kami hitung ke belakang juga kan sejak gerai tersebut beroperasi,” kata Vanny dalam konferensi pers, Senin (21/7/2025).

Dalam konferensi pers yang sama, Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Dharma Oratmangun mendukung langkah LMK Selmi yang menempuh jalur pidana pada PT MBS. Alasannya, PT MBS dinilai tak memiliki itikad baik soal pembayaran royalti musik yang diputar di berbagai gerai Mie Gacoan.

Langkah yang diambil LMK Selmi–salah satu dari belasan LMK di bawah LMKN–itu, kata Dharma, sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

“Semua prosedur sudah kami lakukan, berkirim surat, berkontak, tapi tidak ada tanggapan,” terang Dharma.

Pasal 9 UU Hak Cipta menyatakan pencipta/pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi. Namun, hak ekonomi tersebut harus dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.

Di tingkat nasional, LMK Nasional (LMKN) bertugas menghimpun royalti bagi pencipta/pemegang hak cipta dari pengguna (user). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 87 UU Hak Cipta.

Namun, kepatuhan pembayaran hak cipta atau royalti untuk pencipta lagu serta pemegang hak cipta dalam penggunaan karya di ruang komersial seperti kafe, restoran, karaoke, dan ruang bisnis lainnya, memang berulang kali menimbulkan polemik.

Tak sepenuhnya pelaku usaha mematuhi pembayaran hak cipta atau royalti, di sisi lain, LMK dan LMKN tampak belum menemukan sistematika pembayaran dan pengawasan hak cipta yang andal dan efektif. Ujungnya, kasus pelanggaran hak cipta dalam ruang komersial terus berujung ke ranah pidana.

Kewajiban Membayar Royalti dan Alternatif bagi Pelaku Usaha

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum, Agung Damarsasongko, menegaskan pemutaran musik di ruang publik untuk keperluan komersial wajib membayarkan royalti.

Dia menjelaskan ruang publik yang dimaksud mencakup restoran, pusat perbelanjaan, hotel, kafe, pusat kebugaran, dan lain-lain. Agung mengatakan pemutaran musik, di restoran misalnya, merupakan bentuk komunikasi pertunjukkan kepada publik.

“[Pemutaran musik untuk komersial] itu bukan konsumsi pribadi, dan karenanya wajib membayar royalti sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur,” katanya dalam keterangan pers yang Tirto kutip, Selasa (23/7/2025).

Dia lantas mencontohkan , pemutaran musik dari layanan streaming pribadi, seperti Spotify atau YouTube, untuk diperdengarkan di tempat-tempat publik komersial tetap terkena kewajiban membayar royalti.

Apabila tidak disertai izin dan pembayaran royalti, pemutaran musik tersebut bisa termasuk dalam pelanggaran hak cipta. Aturan ini termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Di lain kesempatan Agung mengatakan, jika pelaku usaha tidak memiliki anggaran untuk membayar royalti musik, ada opsi lain. Misal memutar musik ciptaan sendiri atau menggunakan musik bebas lisensi.

“Memutar musik ciptaan sendiri, menggunakan suara alam/ambience, atau bekerja sama langsung dengan musisi independen yang bersedia memberikan izin tanpa biaya,” kata Agung, Tirto mengutip Kompas.com, Senin (28/7/2025).

Pidana dalam Hak Cipta Jadi Pilihan Terakhir

Konsultan sekaligus Pengacara bidang Kekayaan Intelektual, Donny A Sheyoputra, menyampaikan bahwa penegakan hukum pidana dalam pelanggaran hak cipta menganut asas ultimum remedium atau pilihan terakhir untuk memberikan efek jera untuk pelaku pelanggaran.

Pada mekanisme penegakan hukum pidana, penyidik akan mengupayakan agar Pelapor dan Terlapor dapat bermediasi untuk mencapai suatu kesepakatan terbaik. Hal ini dilakukan agar tercapai win-win solution tanpa harus bergulir ke pengadilan.

“Jika terjadi perdamaian atau restorative justice, maka perkara akan dihentikan dan tidak sampai bergulir ke pengadilan,” ucap Donny kepada wartawan Tirto, Selasa (29/7/2025).

UU Hak Cipta, kata Donny, tak mempersyaratkan adanya sanksi administratif karena untuk persoalan pelanggaran hak cipta, pemilik hak bisa menempuh upaya hukum perdata, pidana maupun penyelesaian di luar pengadilan. Sedangkan sanksi administratif merupakan ranah hukum administrasi yang menjadi domainnya pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Untuk membuktikan apakah unsur pidana sudah terbukti secara hukum dalam kasus PT MBS, kata Donny, hal ini hanya dapat diuji melalui mekanisme pengadilan yang memeriksa perkara pidana. Jaksa Penuntut Umum nantinya wajib membuktikan bahwa dakwaannya berdasarkan seluruh alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP.

“Untuk saat ini, mengingat proses penyelidikan atau penyidikan masih berjalan, kita tidak boleh melanggar asas praduga tak bersalah dengan menyatakan bahwa unsur pidana yang dituduhkan terhadap Terlapor (Mie Gacoan) otomatis telah terbukti,” ucap Donny.

Menurut Donny, keberadaan Pasal 117 UU Hak Cipta sejatinya berlaku bagi siapapun tanpa memandang status apakah pelaku merupakan usaha UMKM atau waralaba. Dengan begitu, tidak boleh ada tebang pilih karena hukum berlaku secara menyeluruh dan adil bagi setiap warga negara.

Namun, kata Donny, perlu dipertimbangkan penyusunan tarif royalti memiliki besaran harga khusus bagi pelaku UMKM jika dibandingkan dengan pelaku usaha lain yang lebih besar.

“Penerapan Pasal 117 UU HC, tidak boleh diberlakukan secara tidak adil bagi setiap warga negara,” terang Donny.

Selain diatur lewat UU Hak Cipta, penggunaan musik pada ruang komersial juga ditegaskan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 terkait Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Dalam PP tersebut memuat tentang kewajiban pembayaran royalti bagi setiap orang yang menggunakan lagu atau musik secara komersial dan ataupun pada layanan publik. Royalti yang ditarik dari pengguna komersial ini akan dibayarkan kepada pencipta atau pemegang hak cipta lagu dan/atau musik melalui LMKN.

Tata kelola royalti yang harus diperbaiki

Sebagai upaya untuk mengoptimalkan penarikan dan pendistribusian royalti, PP ini memuat mandat pembangunan pusat data lagu dan/atau musik. Di mana informasi Pusat Data Lagu Dan/Atau Musik berasal dari e-Hak Cipta yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Pusat data tersebut dapat diakses oleh LMKN, Pencipta, Pemegang Hak Cipta, Pemilik Hak Terkait, dan Pengguna Secara Komersial. Sayangnya, database digital itu belum terealisasi hingga saat ini.

Penulis isu musik sekaligus founder Wara Musika, Dzulfikri Putra Malawi, meyakini bahwa pelaku usaha pastinya sudah paham aturan dan punya keinginan untuk membayar royalti.

Permasalahannya, kata dia, justru bukan soal pemahaman aturan. Tapi selama ini ada trust issue dari sisi transparansi dan akuntabel yang membuat pelaku usaha enggan membayar.

“Belum lagi dengar cerita dari mereka, ada juga yang ditagih banyak LMK. Membayarnya pun dimungkinkan proses negosiasi karena tidak ada dasar penagihan sesuai lagu yang digunakan,” ucap Dzul, sapaan Tirto untuknya, Selasa (29/7).

Menurut Dzul, prinsipnya pelaku usaha biasanya menyusun laporan secara detail. Pelaku usaha terbiasa mengalokasikan biaya dengan jelas karena terkait performa usaha mereka.

Apabila terdapat biaya yang tidak jelas, pelaku usaha enggan untuk membayar. Sederhananya, kata Dzul, perlu ada sistem yang transparan agar pelaku bisnis juga bisa mengkalkulasi lagu secara tepat dan efektif untuk lini usahanya.

UU Hak Cipta, ungkap Dzul, menempatkan agar langkah pidana sebagai upaya pamungkas. Maka, proses pengumpulan royalti mesti transparan dan dijalankan dengan benar. Jangan sampai kasus pidana pelanggaran royalti hanya diniatkan mengintimidasi pelaku usaha.

“Jadi kalau LMK berharap pelaku usaha mau bayar, perbaiki tata kelolanya agar transparan dan akuntabel. Nggak susah secara teknis, cuma mau apa enggak melakukannya,” terang Dzul.

Sementara itu, pakar hukum hak cipta dari Universitas Pelita Harapan, Henry Soelistyo Budi, justru seratus persen meyakini langkah mempidanakan PT MBS sebagai tindakan tepat. Hal ini dikarenakan, kasus PT MBS akan menjadi peringatan bagi para user yang nakal dan tak mematuhi aturan dalam UU Hak Cipta.

Selain itu, LMK Selmi dan LMKN juga dinilai sudah berupaya melakukan komunikasi serta upaya mediasi, namun tak ditanggapi secara serius oleh PT MBS. Menurut Henry, memang masih ada pelaku usaha yang sengaja menghindari kewajiban membayar royalti meskipun sudah dilakukan sosialisasi.

Henry tak memungkiri kasus hak cipta idealnya memang diselesaikan secara perdata, tetapi ia juga menyatakan penyelesaian pidana bisa diambil sebagai jalan terakhir. Ia memandang argumen bahwa pelaku usaha kurang mendapatkan sosialisasi atau tak tahu-menahu ada kewajiban royalti, sebagai alasan yang usang.

“Kalau logika itu diikuti, mereka membangun sikap permisif untuk mengambil hak orang lain tanpa izin. Bukan rupiahnya, bukan soal itu, nanti soal rupiah itu putusan pengadilan. Tapi ini pencipta punya hak atas ciptaannya,” terang Henry kepada wartawan Tirto, Selasa (29/7).

Source: https://tirto.id/polemik-pidana-musik-di-ruang-publik-karut-marut-tata-royalti-he4N

Read More

menu