JAKARTA – Pertimbangan majelis Hakim yang berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidik dalam menjatuhkan putusan selama empat (4) bulan terhadap Terdakwa Amin Anwar, terlihat sangat memaksakan diri.
Putusan majelis hakim yang di ketuai Demi Hardiantoro, SH, MH., yang mengambil alih BAP di tingkat penyidikan yang menyatakan Terdakwa terbukti melakukan penganiayaan terhadap saksi Merry Tanumiharja sebagaimana melanggar Pasal 360 Ayat (2) KUHP, adalah telah melawan ketetapan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pada sidang putusan tanggal 18 Desember 2024 lalu majelis hakim menjatuhkan pidana 4 (empat) bulan penjara terhadap Terdakwa Amin Anwar yang dinilai bersalah karena kelalaiannya mengakibatkan luka terhadap seorang wanita paruh baya bernama Merry. Hakim berpendapat bahwa ada korelasi antara perbuatan Terdakwa yang mencoba mengambil handphone wanita itu karena digunakan untuk memotret istri Terdakwa tanpa ijin dari Terdakwa maupun istri Terdakwa.
Wanita yang telah memotret istri Terdakwa itu kemudian melarikan diri dengan cepat, tanpa mempedulikan kondisi kakinya yang sedang sakit dan masih dalam proses pemulihan pasca operasi. Ia turun tangga dari lantai dua ke lantai dasar dan kemudian mengaku dianiaya oleh Terdakwa dengan cara didorong hingga jatuh.
Padahal sebagaimana diungkapkan oleh Saksi Arief Munandar, wanita itu tidak terjatuh dan tidak terbentur lantai sama sekali karena ia kebetulan berada di dekatnya dan segera menahan tubuhnya. Pada persidangan sebelumnya, Arif Munandar yang bekerja sebagai waiter di sebuah rumah makan di Jakarta Barat dengan tegas membantah bahwa Terdakwa mendorong Merry hingga jatuh, dan Merry sama sekali tidak jatuh terbentur lantai karena ia dengan sigap menahan dan menopangnya.
Namun kenyataannya Hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap Terdakwa Amin Anwar mendasarkan pada keterangannya di BAP yang dibuatkan oleh penyidik, padahal penyidik ini telah terbukti tidak profesional dalam menjalankan tugasnya.
Sebelumnya, saksi Hotman Lumbantoruan yang juga merupakan seorang penyidik memberikan kesaksian bahwa hampir semua proses pemberkasan termasuk pemeriksaan para saksi dilakukan oleh sejawatnya yang lebih senior yang bernama Teguh dengan cara-cara tidak profesional seperti yang disimpulkan sendiri oleh Hakim.
Keterangan Arif Munandar dalam berkas inilah yang tidak benar dan secara tegas bertolak belakang dengan apa yang disampaikannya di hadapan Majelis Hakim. Namun anehnya Hakim tetap saja menggunakan versi berkas perkara itu sebagai dasar untuk menghukum Terdakwa.
“Karena sebagaimana diketahui dalam KUHAP Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan dalam sidang di pengadilan, bukan keterangan saksi didalam BAP,” kata Yanto Jaya, salah seorang anggota tim Penasehat Hukum Terdakwa Amin Anwar.
Yanto mengatakan, bahwa BAP hanya pedoman awal untuk melakukan pemeriksaan, sehingga apapun keterangan di dalam persidangan adalah keterangan valid yang harus dipertimbangkan secara utuh oleh majelis hakim.
Yanto juga mengatakan Hakim menyadari bahwa keterangan Arif Munandar sebagai saksi kunci dalam perkara ini tidak ada hal-hal menyebabkan luka yang di derita saksi Merry. Luka yang ada sebenarnya adalah luka lama yang terjadi sebelum Merry bertemu dengan Terdakwa di Rumah Makan Seleraku dan luka lama itu disebabkan karena pijatan yang kemudian dilakukan operasi namun hasil operasi yang tidak karuan malah menimbulkan luka-luka baru.
Akan tetapi Hakim justru mencari pembenaran dengan mempertimbangkan visum yang menunjukkan bahwa luka yang dialami Merry adalah luka ringan yang sudah ada dan terjadi akibat faktor lain yang tidak disebabkan oleh Terdakwa Amin Anwar.
“Kenapa hal itu tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim, bahwasanya keterangan saksi Merry, dalam BAP yang mengatakan luka-luka itu karena melakukan oprasi akibat salah urut dan sebagainya. Hakim malah memakai keterangan saksi-saksi Arif Munandar dari BAP, dan ini menurut kami kesalahan yang dilakukan majelis hakim,” ujar Yanto Jaya, kepada awak media usai persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat.
Hal sama juga disampaikan Donny A. Sheyoputra, S.H., LL.M sebagai ketua tim penasehat hukum Terdakwa dari kantor SHEYOPUTRA Law Office.
Kepada media, Donny mengatakan bahwa seharusnya Hakim menjatuhkan hukuman sesuai ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP di mana setidaknya ada dua alat bukti yang cukup dan dengan disertai keyakinan hakim.
“Untuk alat bukti keterangan saksi, seharusnya Hakim mempertimbangkan ucapan saksi-saksi di pengadilan, termasuk apa yang dijelaskan oleh saksi Arief Munandar bahwa Merry sama sekali tidak jatuh dan terbentur lantai karena ditahan olehnya,” demikian ucap Donny.
Kenyataannya Hakim malah mempertimbangkan kesaksian Arief Munandar dari berkas penyidikan yang jelas – jelas telah dicabut sewaktu diperiksa di persidangan.
“Oleh karena itu, pertimbangan majelis hakim yang dalam putusannya mengunakan kesaksian dalam BAP penyidik itu, menurut saya adalah sesuatu yang salah, bertentangan dengan hukum dan patut diduga ini pelanggaran kode etik sekedar untuk menghukum Terdakwa,” kata Donny.
Donny menambahkan, Hakim terkesan ingin menghukum Terdakwa meskipun tidak yakin Terdakwa bersalah karena Hakim takut dicurigai karena membebaskan orang.
“Firasat saya menyatakan bahwa hakim terpengaruh pada dampak buruk situasi penegakan hukum saat ini dengan bercermin pada kejadian di Surabaya di mana ada orang yang jelas-jelas berbuat salah tapi malah dibebaskan sehingga hakim-hakim itu diusut dan terpaksa menjalani proses hukum, bahkan dibongkar dan diumumkan harta-hartanya seperti aib di hadapan publik. Dalam perkara ini, hakim tidak ingin bernasib seperti hakim di Surabaya dalam kasus Ronald Tanur itu sehingga kehilangan keberaniannya untuk membebaskan orang yang sebenarnya tidak bersalah. Hakim model ini hanya cari aman saja agar terkesan memihak pada korban meskipun untuk itu tega menghukum Terdakwa yang tidak terbukti secara meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana,” jelasnya.
“Ini bukan saja melanggar apa yang diatur dalam KUHAP tetapi patut diduga sebagai pelanggaran etika profesi hakim karena profesi ini sebenarnya dilahirkan bukan untuk menghukum orang yang tidak bersalah tetapi menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan bukti-bukti yang ada dan valid,” tegasnya.
Seperti diketahui perkara No : 624/Pid.B/2024 PN. Jkt. Brt kasus dugaan penganiayaan yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) M. Yasin, S.H. Terhadap Terdakwa Amin Anwar tidak dapat dibuktikan. Hakim akhirnya malah mencari aman dengan menghukum Terdakwa atas pasal kelalaian yang menyebabkan orang luka (AT).